DELTA CROYA CRYPTO NEWS

delta

AMBIL YANG BERMANFAAT DAN KABARKAN PADA YANG LAIN

Post Top Ad

Post Top Ad

Rabu, 21 September 2022

SEPENGGAL CERITA TENTANG KECAMATAN KROYA KABUPTEN CILACAP

17.54 0

      


     Sejarah berdirinya Kecamatan Kroya tidak lepas dari sejarah terbentuknya wilayah karisidenan Banyumas.Kecamatan Kroya awal mulanya adalah daerah desa kecil pada masa kadipaten Wirasaba. Kemudian setelah perang Diponegoro usai secara politis seluruh daerah Banyumas atau Mancanegara Kulon menjadi milik pemerintah Belanda dan Kecamatan Kroya termasuk di dalamnya. Hal ini terbukti karena pada tanggal 20 September 1830, seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda bernama Hallewijn memberikan laporan umum hasil kerjanya kepada pihak Komisaris Kerajaan yaitu Jenderal De Kock yang berada di Sokaraja. Laporan tersebut berhubungan dengan luasnya cakupan wilayah karisidenan Banyumasan yang hendak dibentuk dimana meliputi daerah Kebumen, Banjar (Banjarnegara), Panjer (Kebumen), Ayah, Prabalingga (Purbalingga), Banyumas, Kroya, Sumpiuh, Adireja, Karanganyar (Kebumen), Patikraja, Purwakerta (Purwokerto), Ajibarang, dan berbagai daerah lain. Dengan dibentuknya wilayah karisidenan,tahun 1843 akhirnya pemerintah Belanda mulai membangun akses jalan dari Banyumas ke selatan menerobos gunung Karangrau hingga ke Buntu dan disambung ke selatan lagi sampai Kroya.



        Mulanya Kecamatan Kroya justru masuk ke wilayah distrik Adireja dan hanya berstatus sebagai kawedanan. Kala itu distrik Adireja mencakup wilayah Adipala, kroya, Nusawungu, Pantai Ayah, Maos, Kalireja dan sekitarnya. Namun pada akhirnya status Kroya naik menjadi distrik yang membawahi sebagian besar bekas distrik Adireja. Kenaikan status Kroya menjadi distrik karena wilayah ini lebih cepat berkembang, akses lebih dekat dari pusat karisidenan, dan terdapat jalur rel kereta api startegis yang menghubungkan jalur dari Cirebon, Purwokerto dari utara dan Bandung, Cilacap dari selatan.

Selang beberapa lama pasca kemerdekaan, pemekaran wilayah Cilacap bagian timur dilakukan sekitar tahun 1980-an. Kroya yang awalnya menjadi distrik akhirnya dipecah menjadi beberapa kecamatan, di antaranya adalah Kecamatan Kroya, kecamatan Adipala, kecamatan Nusawungu, kecamatan Sampang, dan kecamatan Binangun.



         Demografi wilayah secara kepemerintahan Kecamatan Kroya bisa disimpulkan memang sudah mengalami penurunan status, jika sebelumnya merupakan wilayah Kawedanan (yang meliputi 5 Kecamatan) pada masa Hindia Belanda Hingga tahun 1980-an, maka kini hanya menjadi wilayah kecamatan saja. idealnya Kecamatan Kroya bisa menjadi daerah otonom baru (Kota / Kabupaten), persyaratan yang sesuai dengan RUU DOB (Daerah Otonomi Baru) yang telah diperkuat dengan Amanat Presiden Nomor R-66/PRES/12/2013 yang meliputi Aspek Administratif, Syarat Kewilayahan dan Syarat Teknis bisa dipenuhi Kecamatan Kroya.



                          Kini kroya punya julukan koreane wong cilacap, 

Read More

Jumat, 17 September 2021

COWONG WULAN SARI WUNGU CEWE GAUL #DELTACROYA

06.30 0

Cowongan adalah salah satu jenis ritual atau upacara minta hujan sing dilakukan oleh masyarakat di daerah Banyumas lan sekitarnya. Menurut kepercayaan masyarakat Banyumas, permintaan datangnya hujan melalui cowongan, dilakukan dengan bantuan bidadari, Dewi Sri sing merupakan dewi padi, lambang kemakmuran lan kesejahteraan. Melalui doa-doa sing dilakukan penuh keyakinan, Dewi Sri akan datang melalui lengkung bianglala (pelangi) menuju ke bumi untuk menurunkan hujan. Datangnya hujan berarti datangnya rakhmat Illahi sing menjadi sumber hidup bagi seluruh makhluk bumi, termasuk manusia.

Dilihat dari asal katanya, cowongan berasal dari kata “cowong” ditambah akhiran “an” sing dalam bahasa Jawa Banyumasan dapat disejajarkan dengan kata perong, cemong, atau therok sing diartikan berlepotan di bagian wajah (M. Koderi & Fadjar P. 1991:47). Perong, cemong, lan therok lebih bersifat pasif (tidak sengaja). Selangkan cowongan lebih bersifat aktif (disengaja). Jadi cowongan dapat diartikan sesuatu sing dengan sengaja dilakukan seseorang untuk menghias wajah. Wajah sing dimaksud adalah wajah irus sing dihias sedemikian rupa agar menyerupai manusia (boneka).

Salah satu daerah sing hingga saat ini masih melaksanakan ritual cowongan pada setiap kemarau panjang adalah masyarakat di Desa Plana, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas. Daerah ini terletak di ujung sebelah timur dari kabupaten Banyumas, kurang lebih 15 km di sebelah timur kota Banyumas, berbatasan dengan kabupaten Banjarnegara lan berbatasan dengan kabupaten Purbalingga. Di sebelah timur terdapat sungai kecil (kali Plana) sing menjadi batas desa tersebut dengan desa Karangsalam, kecamatan Susukan, kabupaten Banjarnegara. Sebelah utara lan barat dilingkari sungai serayu sing mejadi batas kabupaten Banyumas lan kabupaten Banjarnegara. Walaupun letaknya dekat dengan sungai, tetapi pada saat musim kemarau sing panjang, daerah ini sangat kering lan air sangat sulit untuk di dapat. Apalagi sebagian besar masyarakat di desa Plana bermata pencaharian sebagai petani. Lahan-lahan sing digarap meliputi lahan basah atau sawah, lahan kering berupa tegalan, serta tanah tadah hujan sehingga saat musim kemarau datang lahan ini sangat kering lan petani tidak dapat menggarap sawah mereka. Masyarakat di desa ini masih percaya, melalui ritual cowongan maka akan segera turun hujan sing sangat berguna agar sumur-sumur lan sumber mata air keluar lagi airnya, sawah lan lalang tidak lagi tandus, lan berbagai tanaman bersemi kembali bagi kelangsungan hidup mereka.

Cowongan dilaksanakan hanya pada saat terjadi kemarau panjang. Biasanya ritual ini dilaksanakan mulai pada akhir Mangsa Kapat (hitungan masa dalam kalender Jawa) atau sekitar bulan September. Pelaksanaannya pada tiap malam Jumat, dimulai pada malam Jumat Kliwon. Dalam tradisi masyarakat Banyumas, cowongan dilakukan dalam hitungan ganjil misalnya satu kali, tiga kali, lima kali atau tujuh kali. Apabila sekali dilaksanakan cowongan belum turun hujan maka dilaksanakan tiga kali. Jika dilaksanakan tiga kali belum turun hujan maka dilaksanakan sebanyak lima kali. Demikian seterusnya hingga turun hujan. Cowongan hingga saat ini masih dapat dijumpai di Desa Plana, Kecamatan Somagede.


Cowongan adalah suatu sarana untuk mengungkapkan keinginin masyarakat akan turunnya hujan. Sebagai komunitas petani tradisonal, masyarakat sing bermukim di desa Plana tentu saja sangat membutuhkan datangnya hujan untuk mengairi sawah sing menjadi sumber penghidupan. Apabila musim kemarau terlalu panjang akibat sing segera dapat dirasakan adalah penderitaan sing diakibatkan oleh kekeringan. Dengan melihat lebih jauh mengenai pelaksanaan cowongan, maka dapat diperoleh gambaran bahwa dalam peaksanaan cowongan terdapat 2 hal penting yaitu aktivitas seni lan bentuk ritual tradisionalsing menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan alam sing bertujuan untuk mendatangkan hujan. Disebut sebagai aktivitas seni karena didalamnya terdapat syair-syair sing tidak lain adalah doa-doa sing dilakukan dalam bentuk tembang, irus atau siwur sing menjadi properti upacara sing dihias menyerupai seorang putri. Doa-doa tersebut ditujukan kepada sang penguasa alam agar hujan segera turun. Disebut sebagai ritual tradisional karena di dalamnya terdapat sesaji-sesaji, properti-properti, rialat lan doa-doa sing kesemuanya ditujukan sebagai suatu permohonan kepada penguasa seluruh alam agar segera menurunkan hujan. Motivasi mereka untuk melakukan upacara tersebut karena manusia (masyarakat) menghormati alanya makhluk-makhluk halus sing telah membantu, memberi keselamatan lan kepuasan keagamaan.

Didalam pertunjukan cowongan terdapat beberapa aspek-aspek penting, yaitu sebagai nerikut : 1. Pertunjukan cowongan sebagai bentuk permainan rakyat jawa. Menurut Koentjaraningrat sing dikutip oleh Parwatri, permainan adalah kegiatan manusia untuk menyegarkan jiwa serta mengisi waktu (Koentjaraningrat, dkk, 1984:145 dalam Parwatri 1993:12). Permainan cowongan merupakan permainan nyanyian sing menggunakan properti irus (boneka) sebagai nini cowong, sing dalam hal ini dikatagorikan sebagai permainan gaib atau permainan ritualmagis cowongan. Permainan ini bersifat sakral, karena merupakan bentukupacara minta hujan sing disertai dengan pertunjukan atau permainan cowongan. 2. Cowongan merupakan pertunjukan ritual. Ciri ritual pertunjukan cowongan dalam upacara minta hujan tercermin dalam : 1. dilaksanakan pada malam Jumat Kliwon. 2. tempat sing digunakan khusus yaitu teras (bagian rumah paling depan). 3. pelakunya semua wanita sing dalam kadaan suci. 4. ada perlengkapan sesaji. 3. Pertunjukan cowongan sebagai bentuk upacara untuk mendatangkan kekuatan magis, sing tercermin dalam : 1. syair-syair lagu sing dinyanyikan oleh pelaku cowongan merupakan doa (mantra). 2. dukun (sesepuh cowongan) mengucapkan mantra sing disertai dengan tindakan membakar kemenyansing ditujukan kepada leluatan-kekuatn supranatural agar membantu kelancaran pertunjukan tanpa halangan apapun. 4. Pertunjukan cowongan merupakan adat kebiasaan sing dilakukan oleh masyarakat desa Plana pada waktu kemarau panjang. Adat kebiasaan tersebut dilakukan secara turun temurun sing tidak dapat diganti oleh apapun lan selalu dihormati serta ditaati. 5. Pertunjukan cowongan mengandung aspek estetis. Hal ini tercermin dalam syair tembang sing dilagukan lan rias busananya. Kehadiran cowongan tidak tergatung pada penonton seperti sing dikatakan Pariyem “ Ajenga mboten wonten sing nonton, nggih tetep diterasaken. Mangke menawi mandeg sing sami nglampahi kenging bebendu saking sing njampangi (sekalipun tidak ada sing menonton, ya tetap diteruskan. Nanti kalau berhenti para pelakunya terkena hukuman dari sing melindungi).


Bagi masyarakat desa Plana, cowongan merupakan keharusan untuk senantiasa dilakukan sebagai upacara minta hujan setiap kemarau panjang. Hal ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat desa Plana sing sebagian besar matapenahariannya bertani atau berocok tanam. Sehingga air merupakan sumber utama bagi mreka sing areal pertaniannya merupakan sawah tadah hujan. Hujan bagi masyarakat desa Plana pada musim kemarau menjadi suatu hal sing sangat berharga. Cowongan adalah salah satu jenis ritual atau upacara minta hujan sing dilakukan oleh masyarakat di daerah Banyumas lan sekitarnya. Menurut kepercayaan masyarakat Banyumas, permintaan datangnya hujan melalui cowongan dilakukan dengan bantuan bidadari, Dewi Sri sing merupakan dewi padi, lambang kemakmuran lan kesejahteraan. Melalui doa-doa sing dilakukan dengan penuh keyakinan, Dewi Sri akan datang melalui lengkung bianglala (pelangi) menuju ke bumi untuk menurunkan hujan. Pada dasarnya, dalam pelaksanaan cowongan terdapat 2 hal penting yaitu aktivitas seni lan bentuk ritual tradisional sing menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan alam sing bertujuan untuk mendatangkan hujan. Cowongan dilaksanakan dengan menggunakan properti berupa siwur atau irus sing dihias menyerupai seorang putri. Pelaku cowongan terdiri atas wanita sing tengah dalam keadaan suci (tidak selang haid, nifas atau habis melakukan hubungan seksual). Dalam pelaksanaan ritual cowongan, para peraga menyanyikan sebuah tembang sing sesungguhnya merupakan doa-doa. Cowongan hanya dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu ketika terjadi kemarau panjang. Keberhasilan pertunjukan cowongan yaitu cepat lambatnya hujan turun, dipengaruhi oleh tindakan-tindakan ritual sebelum pelaksanaan cowongan. Pertunjukan cowongan ini terselenggara karena alanya pemahaman masyarakat sing menganggap alam memilikikekuatan sing dapat mempengaruhi kehidupan manusia baik positif maupun negatif. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa pengaruh kepercayaan animisme lan dinamisme terhadap masyarakat Plana masih kental. Didalam cowongan tercermin 2 aspek penting yaitu aspek ritual magis lan aspek estetik. Aspek ritual magis cowongan tercermin pada kegiatan masyarakat dalam mengatasi masalah kekeringan atau faktor cuaca dengan menggunakan kekuatan magis yaitu mengadakan upacara minta hujan sing disertai pertunjukan cowongan. Aspek estetik cowongan tercermin dalam kehidupan masyarakat desa Plana sing masih sangat tradisi mampu berkarya seni lan mengungkapkan pengalaman jiwa melalui cowongan.

Read More

CAKLIPA LARAS SENI BUNCIS DESA PESANGGRAHAN BY DELTACROYA

03.52 0

Buncis di Banyumas bukan sekedar nama sayuran untuk lauk-pauk. Buncis juga menjadi nama salah satu kesenian local setempat. Kesenian ini tersaji dalam bentuk seni pertunjukan rakyat. Pemain terdiri dari delapan orang yang menari sambil menyanyi, sekaligus menjadi musisinya. Dalam sajiannya keseluruhan pemain mengenakan kostum berupa kain yang dibuat menyerupai rumbai-rumbai menutup aurat. Sedangkan di kepalanya dikenakan mahkota yang terbuat dari rangkaian bulu ayam. Dengan kostum yang demikian inilah kemudian menjadikan seni buncis lazim disebut dengan istilah ‘dayak-dayakan’ yang berarti menyerupai kostum suku Dayak di Kalimantan.

Para pemain dalam pertunjukannya membawa alat musik angklung berlaras slendro. Masing-masing membawa satu buah alat musik yang berisi satu jenis nada yang berbeda. Enam orang di antaranya memegang alat bernada 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma), 6 (nem) 1 (ji tinggi) dan 2 (ro tinggi). Dua orang yang lain memegang instrument kendhang dan gong bumbung. Dalam membangun sajian musical, masing-masing pemain menjalankan fungsi nada sesuai dengan alur lagu balungan gendhing. Dari permainan alat-alat musik yang demikian, mereka mampu menyajikan gendhing-gendhing Banyumasan.

Hingga saat ini seni buncis masih bertahan hidup di wilayah kecamatan Somagede, tepatnya di Desa Tanggeran, Klinting, dan Sokawera. Semua berjumlah empat kelompok, yaitu di Tanggeran terdapat dua kelompok, Klinting (satu kelompok), dan Sokawera (satu kelompok). Hingga dasawarsa 1970-an, buncis masih bias ditemukan di wilayah kecamatan Kemranjen dan Kebasen. Namun seiring dengan perubahan jaman dari era tradisional-agraris ke modern-teknologis, keberadaan seni buncis di kedua kecamatan ini berangsur-angsur mengalami kepunahan.


Read More

Post Top Ad